Rabu, 09 Juli 2014

Perhatian Sepenuh Hati adalah Kekayaan Paling Berharga
Ninih muthmainnah

Saudaraku yang berbahagia, semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan rasa bahagia dalam hidup ini dan diberikan keluarga penuh dengan kebahagiaan. Jika kita seorang yang sangat sibuk dengan pekerjaan, sudahkah kita memperhitungkan waktu untuk keluarga? Untuk istri/suami? Untuk anak-anak? Dan untuk bekal di akhirat kelak? 

Saudaraku, istri/suami dan anak-anak adalah mereka yang mengharapkan kita. Mereka menginginkan perhatian, kasih sayang, belaian serta peluk sayang kita. Mereka bukan hanya membutuhkan harta benda yang sering diagung-agungkan. Hati mereka tidak terbuat dari sebongkah batu yang tidak memiliki perasaan rindu, sedih, dan bahagia. Hati mereka terbuat dari sekerat daging. Sama seperti yang lain, sama-sama memiliki keinginan untuk disayangi, dicintai, diperhatikan, dirindui, dibelai, dipeluk dan dicium. Kita pasti tahu apa sebabnya. Karena itu adalah fitrah manusia dan sangat manusiawi.

Saudaraku, saya teringat sebuah cerita nyata tentang penyesalan seorang ibu. Ia sangat sedih ketika sadar bahwa anak kandungnya lebih mencintai dan menyayangi pengasuhnya, daripada dirinya sebagai ibunya. Ketika ibu ini sakit, sang anak hanya meresponnya dengan ucapan, “Mama cepet sembuh ya!” Itu saja. Tidak lebih. Sebaliknya, ketika pengasuhnya sakit, sang anak berusaha keras agar ia lekas sembuh. Ia rela mengorbankan apapun demi kesembuhan pengasuhnya.

Setelah merenung, sang ibu barulah sadar bahwa dirinya memang telah berlaku tidak adil pada anaknya. Ia hanya mementingkan karir demi kekayaan yang melimpah daripada anak kandungnya sendiri. Ia habiskan sebagian besar waktu untuk pekerjaannya di luar rumah. Sementara anaknya lebih banyak mendapat perhatian, belaian dan kasih sayang dari pengasuh, bukan dari ibu yang telah melahirkannya. 

Saudaraku, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang perempuan yang mengadu kepada Nabi Muhammad saw tentang perilaku suaminya yang tidak meluangkan waktu untuk istrinya. Ia mengatakan bahwa di siang hari suaminya saum dan mengabiskan malam-malamnya untuk bermunajat kepada Allah SWT. Lalu, Rasulullah saw memanggil suami perempuan itu dan menanyakan kebenaran berita yang diterima Nabi. Laki-laki itu menjawab,“Benar, ya Rasulullah.” Kemudian Nabi saw berkata, ”Kembalilah kepada istrimu, karena ia memliki hak atas dirimu.”

Saudaraku, riwayat tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa waktu selama hidup di dunia ini tidak boleh dihabiskan hanya untuk ibadah mahdhoh (ibadah ritual) saja. Manusia juga harus memberikan waktunya untuk keluarga, istri, dan anak-anak. Juga untuk kehidupan selama di dunia. Kita harus menyeimbangkan waktu kita untuk dunia dan akhirat. Karena hakikatnya semua itu adalah ibadah juga. Allah SWT telah menggariskan dalam Alquran bahwa, “Tidaklah Allah SWT menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.” (QS adz-Dzariyaat [51]: 56).

Saudaraku, masih banyak kegiatan lain yang sepintas sepertinya hanya kegiatan duniawi, tetapi jika diniatkan ibadah, tentu akan berpahala. Tetapi jangan lupa, kita tidak boleh melalaikan kehidupan di dunia. Kita harus adil, beraktifitas untuk kepentingan di dunia dan juga untuk kepentingan di akhirat.

Oleh karena itu Saudaraku, isilah setiap waktu kita untuk beribadah dengan tidak melupakan kahidupan di dunia. Ketika seorang suami bekerja mencari rezeki, niatkanlah sebagai ibadah. Yaitu untuk memberi nafkah kepada keluarga seperti yang telah diperintahkan agama. Ketika seorang ibu memasak, niatkanlah sebagai ibadah, yaitu berbakti dan berbuat baik kepada suami dan keluarga sepertiyang telah diajarkan Islam. Ketika seorang ibu menunggui anaknya di sekolah, ia bisa sambil berzikir, atau muraja’ah (mengulang hafalan) Alquran. Atau bisa juga sambil membaca buku untuk menambah pengetahuan, karena Islam telah memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu hingga kematian datang. 

Tidak sedikit keluarga yang secara duniawi tak kekurangan namun mengabaikan pendidikan, bimbingan dan perhatian kepada keluarga sehingga anaknya merasa dikucilkan. Walaupun ada di rumah, tapi jarang bertemu dengan orangtuanya, sehingga mereka mencari kehidupan di luar yang jauh dari nilai-nilai kebaikan. Yang akhirnya menyebabkan mereka tergelincir kepada pergaulan kurang baik. 

Yakinlah anak-anak kita bukan hanya membutuhkan bekal duniawi saja, namun ada yang paling penting yaitu belaian kasih sayang orang tuanya. Bisa jadi duniawi masih kekurangan, akan tetapi perhatian dan cinta kasih sayang tercurahkan untuk mereka, maka akan tercipta sebuah hubungan penuh harmoni dan kasih sayang. Anak-anak kemudian akan termotivasi untuk bisa belajar lebih sungguh-sungguh dan memiliki kekayaan tak ternilai dari orangtuanya.

Perhatian penuh cinta bisa diapresiasikan dengan berbagai macam cara. Contohnya mengajak anak-anak berkunjung ke kakek dan neneknya sebagai usaha kita agar mereka mencintai orangtuanya. Menyadarkan anak-anak bahwa dibalik segala keberhasilan, ada orang-orang yang berdiri di belakang kita. Sebagai manusia yang berbakti, maka harus jadi orang yang pandai berterima kasih. Ingatlah mendidik anak-anak yang paling baik adalah dengan sikap dan perilaku kita, dengan sendirinya mereka akan meniru apa yang kita lakukan.

Kemudian bisa juga mengajak ke tempat-tempat indah untuk mengajak mereka bertafakur tentang keindahan alam buatan Allah SWT. Ini membuat anak-anak akan merasa hidupnya tidak sendiri, tapi ada alam yang senantiasa mendampinginya. Dalam benaknya timbul keinginan untuk memelihara alam dengan baik, bukan malah merusaknya.

Kata kuncinya adalah seimbangkan waktu dan perhatian kita untuk mereka anak-anak yang kehidupannya masih alami dan penuh keluguan, sehingga kefitrahan mereka kita isi dengan curahan cinta dan kasih sayang. Semoga Allah SWT memberikan kita anak-anak yang saleh, pecinta Allah SWT sebagai Tuhannya dan menyayangi orangtuanya sebagaimana kita menyayangi mereka. Amiinñn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar